MERAIH KEMAJUAN BERSAMA

JUNZI Consulting adalah Perusahaan yang bergerak di bidang Konsultan Bisnis dan Pelatihan dengan Pedekatan Berbasis Kearifan Timur, dengan Sistem Manajemen yang mengacu pada Standar Internasional.

Kami menawarkan Pendekatan Kearifan Timur sebagai pandangan hidup dan ilmu, serta berbagai Strategi Kehidupan yang menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan Kebutuhan, yang bisa diimplementasikan untuk Kepentingan Organisasi/Perusahaan.

Kearifan Timur merupakan gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai budaya yang baik, yang akan ditanamkan kepada orang-orang di dalam Perusahaan.

Di dalamnya terkandung pemikiran-pemikiran bijak yang mampu mengatasi problema semua sendi kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun usaha, kehidupan jasmani atau pun kehidupan rohani.

Dengan didukung oleh praktisi yang berpengalaman, kami hadir untuk memberikan nuansa yang berbeda bagi Perkembangan Perusahaan Anda.

Unduh CV Hubungi

Layanan Kami

Manajemen Perusahaan

Berbagai kegiatan dalam Perusahaan menjadi bidang kerja kami, dengan fokus pada pembuatan Peraturan Perusahaan, Tata Tertib Perusahaan, Penyusunan Struktur Organisasi, Pembuatan SOP, Pembuatan Job Description, Penentuan Target Perusahaan, dan Analisa terhadap pencapaian perusahan dalam kurun waktu tertentu.

Lebih Lanjut

Manajemen SDM

Meliputi kegiatan dari awal Karyawan bergabung sampai dengan Karyawan Pensiun, yaitu Bank Data Calon Karyawan, Hire Karyawan, Pelaksanaan Seleksi Karyawan baru dan wawancara, Penyiapan dokumen Kontrak kerja, Work Load Analysis, Penilaian Assessment Karyawan, sampai dengan pembinaan dan pelatihan tenaga kerja agar dapat bekerja sesuai dengan kompetensi pekerjaan yang diharapkan.

Lebih Lanjut

Manajemen Keuangan

Sebagaimana layaknya aliran darah dalam tubuh, demikian kami gambarkan perihal Keuangan dalam Perusahaan. Keuangan yang lancar adalah cerminan perusahaan yang sehat. Layanan kami dalam bidang keuangan meliputi Penyusunan Budget Perusahaan, Cash Flow, Budget Controling, dan Analisa Laporan Keuangan.

Lebih Lanjut

Manajemen Inventori

Meliputi analisa perputaran persediaan, dan penyusunan perangkat stok opname. Seringkali ditemukan perusahan mengalami kesulitan dalam mengelola persediaannya. Maka dengan pengalaman kami, kami akan memberikan solusi atas kesulitan Perusahaan dalam bidang Inventory.

Lebih Lanjut

LENSA


Lihat Lebih

Artikel Terbaru

Mei 29, 2019

Ikan Besar Ikan Kecil

Ikan Besar Ikan Kecil



Perhatian pada anak-anak, kubuktikan dengan selalu hadir di saat-saat penting dalam fase kehidupannya. Salah satunya ketika anak perempuan kami lulus SMP dan kini saatnya Graduation. Itu loh, acara yang kalo dulu jaman angkatan seusia saya, namanya Perpisahan.


Jadilah saya duduk manis di deretan kursi yang dipenuhi para orang tua murid. Gak tau kenapa, kalo ada acara acara begini, saya mendadak jadi pendiam, kaga banyak basa-basi, duduk mengamati orang-orang di sekeliling. Ternyata emang lebih mudah jadi pengamat, bebas menilai, apalagi tanpa harus bertanggung jawab terhadap hasil pengamatan. Lebih susah menjadi pelaku, karena harus bertindak hati-hati mencari solusi. Beda, toh? Pengamat bisa ngomong seenak-enaknya ngomong, mencela sana sini tanpa tahu yang sempurnanya bagaimana, mudah menyalahkan tanpa tahu yang benarnya seperti apa. Sedangkan sebagai pelaku, harus ekstra hati-hati berpikir dan berbicara, karena dibutuhkan solusi dan bukan sekedar mencaci maki.


Tapi bukan itu yang mau saya bahas melalui tulisan ini. Tertarik juga mengamati percakapan para orang tua murid mengenai ke mana selanjutnya anak mereka sekolah setelah lulus ini.


Banyak versi, si Mama A, yang berasal dari orang berada, keliatan dari dandanan nya yang gemerlap, rias wajahnya pasti ditangani pe-make up handal sekelas professional make up artist, mungkin sedari subuh dia berdandan, saya mah ribet liatnya, hehe... Dia bercerita, kalo anak ceweknya harus sekolah di sekolah yang mahal. Uang gak masalah. Dia beragumen, sekolah yang mahal, pasti tidak semua orang bisa masuk, hanya orang-orang kaya saja yang bisa masuk, dan itu artinya sudah menyeleksi teman-teman anaknya. Supaya selevel, anak macan mainnya sama anak macan, bukan anak serigala. Oh ya? Saya cuma diem saja, lah wong dia kagak cerita sama saya, masa saya suruh komen? Buang-buang energi saja.


Yang satunya, cewek juga (banyak mama-mama disini, papa-papanya sedikit, kayaknya pada sibuk cari uang). Yang ini beda style, pakaian dan dandanannya keliatan klo dia seorang profesional.


"Pengusaha, punya banyak pabrik," kata istriku, ketika aku bertanya siapa dia. Bagi dia mencari sekolah bagi anaknya adalah sekolah yang punya banyak prestasi dalam bidang pendidikan, punya segudang piala yang dipajang sebagai hiasan untuk menunjukan pencapaiannya dalam hal pelajaran. Misalnya juara olimpiade matematika, juara umum sains, juara penelitian ilmiah, dan juara lain yang gitu-gitu lah...


Baginya, sekolah harus bisa membuat anaknya mencapai prestasi di bidang pendidikan, "Sekolah harus yang sampai sore, supaya anak semakin pandai, kalo perlu pulangnya malam supaya tidak menyia-nyiakan waktu nya untuk belajar" Wuih, sadis bener pikirku.


Lingkungan yang baik bagi pergaulan anak, saya setuju. Sekolah harus yang berprestasi, saya juga sepakat. Tapi tidak seperti versi kedua mama-mama itu kaleeee...


Saya lebih menyiapkan anakku agar mempunyai ilmu kehidupan, bukan sekedar mengejar nilai baik mata pelajaran. Lingkungan yang plural, lengkap dari berbagai segmen, tidak hanya terfokus pada salah satu segmen saja. Ini penting supaya anakku dapat belajar beradaptasi, kemampuan dalam hidup yang sangat penting, supaya dapat eksis dalam kehidupan ini.




Kami sudah sepakat, tanpa paksaan. Anakku akan mencoba mendaftar di Sekolah Negeri di kota Purwokerto. Bukan kelas eksklusif, satu angkatan jumlahnya tiga ratus lima puluhan anak. Tidak hanya ada segmen orang kaya saja, berbagai segmen ada di sana. Ini yang membuat keder para orang tua yang begitu mem-protect anaknya, tapi bagiku, inilah ujian pembiasaan bagi anakku untuk mendapatkan ilmu beradaptasi yang baik.


Saya bertanya kepada anakku, "Mana yang kamu pilih? Jadi ikan besar dalam kolam kecil? Atau ikan kecil dalam samudra luas?" 


Tiap orang punya fokus yang berbeda. Jawaban kita, belum tentu sama. //


Mei 14, 2019

Kehilangan Kata-Kata

Kehilangan Kata-Kata

Saya membuat tulisan ini sambil mendengarkan celoteh seseorang di ujung HP saya. 

Sesekali saya mengucap, "Ya... ya... He-eh..." Sekadar supaya lawan bicara saya tidak bolak balik halo... halo... Dikira lost kontak kalo saya pasif diam saja. 

Canggih ya gadget jaman sekarang, bisa multitasking, bisa bikin tulisan sambil mendengar celoteh seseorang. Hal yang rasanya mustahil bisa dilakukan 10 tahun yang lalu. Kalo boleh sombong dikit, canggih juga otak saya, hehe.. bisa membagi kegiatan untuk tetap konsisten mengucap ya... ya... he eh, sambil membagi pikiran untuk menyusun kata-kata supaya tulisan ini terhidang bagus dan terserap baik di hati para pembacanya. 

Pernah denger gak ajaran yang intinya mengajarkan kita supaya rendah hati, sehingga kita banyak berkah, jangan sombong karena hanya akan mengundang kerugian? Saya berusaha lakukan itu, dan menjadi orang yang rendah hati itu tidak gampang. Saya sudah melalui jalan itu.

Menjadi rendah hati, artinya bersiap berlaku seperti orang bodoh, tidak banyak bicara tapi banyak unjuk karya. Ya, seperti sekarang ini, yang di ujung HP saya saat ini, sepertinya merasa lebih tahu dari saya. Dia bicara sok yakin, katanya sih mau merundingkan sesuatu, tapi bahasanya cenderung menggurui saya, bahkan mengatur saya agar mau mengikuti pola pikirnya. Padahal, apa yang dia bahas sangat saya kuasai, sangat saya pahami perkembangan kasusnya, karena dalam hal yang dia bahas, sebenarnya sayalah decision maker akhirnya.

Paham ya perasaan saya? Ya... ya... He eh, lah kok diiyakan terus toh? Kok saya cuman he eh, he eh terus? Gak pengen toh melawan ucapannya dia biar saya gak kelihatan bodoh di matanya? Tunjukan bahwa wewenang ada di tanganku. 

Jujur pengen sih saya lakukan itu, membukakan matanya, emang dia pikir ngomong sama siapa? Aku loh, yang punya wewenang memutuskan hal ini. Itu versi sombongnya, tapi gak saya lakukan, kenapa? 

Ya itu tadi. Kesombongan hanya akan mengundang kerugian. Saya pilih menjadi pribadi yang rendah hati, siap dinilai menjadi orang bodoh, yang tidak punya wewenang, dan sepertinya tidak tahu masalah. Inilah dulu yang membuatku hipertensi, naik darah, karena menahan amarah yang dipendam. Tapi sekarang sudah lihai kok. Kalau mulai merasa emosi terusik, tarik nafas dan bilang ya..ya... Hembuskan sambil bilang he eh, tensi gak akan naik. 

Saya jadi paham peribahasa, Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Elu mau ngomong apapun juga, jawaban gue cuman ya... ya, he eh... Kira-kira begitulah tafsir peribahasanya. 

Pernah baca ini juga gak? 
Kepada orang yang patut diajak bicara, kita tidak bicara, artinya kita kehilangan orang.

Kepada orang yang tidak patut diajak bicara, kita ajak bicara juga, maka kita akan kehilangan kata-kata. 
Bener banget ini. 

Jadi kalau saya cuma bilang ya..ya dan he eh, bukan karena saya bodoh ya, tapi karena saya kagak mau kehilangan kata-kata. 

Ya... ya... He eh... 

Hebat juga yang di ujung HP saya ini. Tulisan sudah selesai, siap upload di web-ku, tapi belum ada tanda-tanda dia akan menyudahi. Ya sudahlah. Rendah hati memang tidak mudah. 

Ya... ya... He eh.... //

Mei 09, 2019

Semua Ada Waktunya

Semua Ada Waktunya

"Ooh gak mau ikut lah, Pah," kesekian kalinya Adiv anak lelakiku menyampaikan penolakannya untuk ikut bepergian ke luar kota—untuk suatu tugas—yang rencananya akan saya extend-kan menjadi liburan bareng keluarga. Kebetulan waktunya pas, ada long weekend.

"Terus entar kalo ditinggal makannya gimana?" tanyaku memancing agar timbul keraguan di hatinya.

"Makan mie instan," jawabnya tegas. 

"Mosok mau seharian makan mie terus? Ya bosenlah," pertanyaanku kembali membrondong berusaha mematahkan keyakinannya. 

"Goreng nasi, goreng telur dadar, goreng telur mata sapi, delivery steak ayam mabok, delivery ayam goreng. Banyak Pah yang bisa dimakan." Ternyata dia sudah mempersiapkan rencana untuk tinggal sendirian di rumah.

Memang saya selalu berusaha mengajarkan kemandirian bagi kedua anakku. Sedini mungkin mereka saya ajarkan agar bisa menyelesaikan tugas-tugas pribadinya. Dulu Mei—anak perempuanku, selalu 'nglendot' kalo deket-deket papah atau mamahnya. Saya selalu mendorong badannya agar tegak tidak 'nglendot', bukan karena risi dilendotin, tapi agar dia bisa berdiri tegak mandiri tanpa bersandar pada orang lain. "Itu alasannya, Mei," tuturku sok bijak berfilosofi menjelaskan hal ini padanya.

Bukan kali ini saja Adiv menolak diajak bepergian ke luar kota. Padahal dulunya sewaktu dia masih SD, ke mana saja kami bepergian dia selalu ikut. Malah kecenderungannya tidak mau ditinggal sendiri di rumah walau ditemenin Boboh sama mbak-nya.

"Kenapa sih gak mau ikut?" tanyaku pengen penjelasan berusaha paham dengan kondisi sekarang.

"Ada kegiatan di sekolah, Pah," jawabnya. 

"Kan jam 9 pagi sudah selesai, kita baru berangkat jam 11," argumenku gak mau kalah. 

"Minggunya sekolah minggu, Pah," ujarnya lagi. 

Aku cuma diam. Ini anak mirip papahnya, kalau sudah gak mau, stok alasannya banyak.

Dulu aku pernah tanya sama sepupuku yang sudah nikah dan punya anak. Waktu itu aku masih kuliah. "Masa mana lebih enak? Pacaran? Nikah? Atau punya anak?" 

Saudara sepupuku yang 10 tahun lebih dulu lahir, menjawab "Semua masa ada kesenangannya sendiri sendiri, gak bisa dibandingin kayak gitu." 

Waktu itu aku gak mudeng. Saya iyakan saja dengan tidak bertanya lebih lanjut.

Sekarang saya juga paham nasihat bijak seorang sahabat, "Jangan sia-siakan waktu kebersamaanmu dengan anak ketika masih kecil, karena ketika remaja nanti, mereka akan punya kegiatan masing-masing." 

Benar juga tuh kata bijak sahabat, walau saya lupa sahabat mana—yang begitu bijak—yang pernah ngomong gitu.

Masa kecil anak lakiku rasanya sudah berlalu, kini dia menjelma menjadi remaja. Untung di masa kecilnya sudah penuh dengan kebersamaan dalam keluarga. Sudah kenyang diuwel-uwel, diipuk-ipuk, digendong, dioyong-oyong. Aku tidak menyesali kalau dia sekarang sudah susah diajak bepergian bareng keluar kota.

Tugasku sekarang berubah, bukan lagi menguwel-uwel, mengipuk-ipuk. Tapi membekalinya dengan kemampuan menghadapi kehidupan masa depannya. //

Mei 05, 2019

Agama dan Realita

Agama dan Realita

Beberapa hari ini ada yang mengganggu pikiranku. Makan tidak enak, tidur kurang nyenyak. Aku sadar, ini efek karena bolak-balik mengunjungi temanku yang di rawat, kritis di rumah sakit. Usianya satu setengah kali dari usiaku, istrinya berusia satu koma tiga kali dari usiaku. Sudah, jangan dihitung berapa umurnya, ntar malah kamu gak bisa tidur ngitungin berapa usianya.

Yang mengganggu batinku, adalah permintaan istrinya yang minta dicarikan orang untuk menggantikan posisinya—untuk menjaga suaminya yang dalam kondisi kritis itu. Walaupun kritis, koma tidak sadarkan diri, ternyata ada fungsi-fungsi yang tidak dalam komando otak. Jadi walau koma, bisa tiba-tiba muntah, dan di kunjunganku kemarin kulihat dia sedang cegukan yang kagak brenti-brenti.

"Carikan orang yang bisa gantiin aku, please.... Aku sudah gak kuat kalo harus jagain terus, malem gak bisa tidur, siang apalagi," pinta istrinya dengan nada lemah. Aku sangat sadar, di usianya yang satu koma tiga kali dari usiaku, masa-masa ini akan terasa sangat sulit dilaluinya. Bebannya bukan cuman di fisik, tapi psikis juga, itu yang bikin tambah berat. Tak sadar, aku berujar "Lho, anak-anak ke mana?"

Mereka punya anak lebih dari 3, kurang dari 5, yang besar beda jenis kelaminnya, sisanya bergender yang sama. "Mereka sibuk dengan kerjaannya, paling cuman telpon tanya papah kondisinya bagaimana? Saya gak bisa menyalahkan anak-anak, mereka berkewajiban menghidupi keluarganya," sang mama yang melahirkan sepertinya berusaha melindungi anaknya dari serangan, supaya aku tidak melanjutkan ucapan dan pikiranku.

Dulu pernah, salah satu dari anak mereka waktu masih kecil, sakit parah. Papah mamahnya kalang kabut, cari utangan ke sana kemari untuk membayar biaya rumah sakit, mereka berjuang sekuat tenaga agar anaknya mendapat pengobatan layak dan terbebas dari sakit yang cukup mengkhawatirkan keselamatan jiwanya. Itu dulu, dan itu pengorbanan papah mamah nya.

Sekarang, papah yang sedang bimbang antara harus berpulang atau kembali berjuang, hanya ditemani mamah yang pusing bukan kepalang, tak kulihat anaknya datang. Realita dan ajaran agama sepertinya berada di jalan yang berbeda. Laku bakti pada orang tua, yang seharusnya utama, dihadapkan pada realita hidup di depan mata. Mereka keluarga yang ekonominya pas-pasan, anak-anaknya bekerja ikut orang lain, semuanya di luar kota, jadi pegawe lah bahasa mudahnya. Terlalu sering izin menemani papahnya, sebagai wujud bakti, bisa dipecat bos yang sakit hati.

Wah, wah, gimana menerapkan ajaran laku bakti dalam kondisi begini? Tulisanku ini bukan untuk menghakimi, lebih kepada cara belajar menjadi bijaksana, jangan terburu buru menyalahkan, karena yang mereka alami, kondisinya berbeda dengan saya dan Anda.

Yang aku sadari sekarang, orang tua rela berkorban demi anak-anaknya, dan anak sekali pun mau berkorban, belum cukup membayar lunas pengorbanan orang tuanya.

Makanya laku bakti penting, tinggal bagaimana mengaplikasikannya dalam perbuatan nyata. //

Mei 03, 2019

Yin Yang: Perbedaan Awal Keharmonisan

Yin Yang: Perbedaan Awal Keharmonisan


Susahnya mencari kandidat karyawan yang tepat untuk menduduki suatu posisi dalam perusahaan, inilah masalah yang kerap saya hadapi sebagai konsultan Perusahaan. Sudah dua bulan ini, mencari kandidat sales untuk salah satu klien belum terpenuhi, berbagai cara menyebar info loker sudah dilakukan. Sampai Project Officer yang saya tempatkan mendampingi klien bilang "Saya nyari istri saja, gak sesusah ini."

Jiah... Ini satu sisi yang aku tau.

Padahal ketika menjadi pembicara di banyak pelatihan, Work Shop, atau Seminar yang bertajuk "Kiat Menembus Dunia Kerja" atau "Rahasia Sukses Wawancara Kerja" atau bahasa-bahasa lain yang intinya ditujukan pada pencari kerja agar sukses melepas predikat penganggurannya. Saya selalu memulai dengan pertanyaan "Menurut kalian, susah gak sih mencari kerjaan?" Saya berani taruhan, hampir seluruh peserta akan menjawab "Susahhhh..... " 

Ini sisi lain yang saya juga tau.

Lah terus? Satu sisi nyari karyawan susahnya minta ampun, sampe berani sumpah, nyari istri lebih mudah dari nyari tenaga kerja. Sisi yang lain, nyari kerjaan susah pisan, sampe udah dapet istri belum juga dapet kerjaan. Kesimpulannya : Cari istri itu gampang...

Dua sisi atau kutub yang berbeda, disebut Yin Yang, itulah Hukum Jalan Suci Tuhan. Dua kutub ini bila bertemu akan terjadi interaksi, bisa saling mematikan atau bahkan saling menguatkan. Keduanya mungkin saja terjadi berbalikan, awalnya saling menguatkan akhirnya saling mematikan, atau awalnya saling mematikan, akhirnya saling menguatkan. Bisa menyenangkan, bisa menyakitkan.

Bila kedua sisi bertemu, terjadi interaksi saling isi dan saling menguatkan, membawa kedamaian dan kebahagiaan, inilah kondisi yang disebut harmonis. Kondisi sebaliknya, itulah dinamakan disharmonis.

Jadi menurut saya.. Perusahaan yang susah cari karyawan berarti ada kondisi yang menyebabkan Disharmonis. Karyawan yang lama gak dapet dapet pekerjaan, karena dalam dirinya ada unsur pembentuk kondisi disharmonis. Kalo mau dapat karyawan atau dapat pekerjaan, berdamailah, beri ruang gerak bagi sisi yang satunya, jangan biarkan salah satu sisi terlalu dominan, jangan pengen absolut, karena harmonis itu sekalipun bukan sama rata sama rasa, tetapi perimbangannya masih dapat diterima satu sisi lainya. Harmonis inilah, jalan suci yang harus dijalankan manusia dalam hidupnya.

Hmm.. Di atas ada 3 sisi loh, karyawan, pengusaha, dan istri. Bagaimana dengan istri? Ya sama, harmonislah. Karena istri bisa menyenangkan atau menyakitkan, bisa menguatkan atau mematikan. Lah kalo kamu bagaimana? Siapa? Kamu.. Iya kamu... Kalo istriku menguatkan dan menyenangkan, harmonis dong. //

Mei 01, 2019

Mau Besar atau Kecil?

Mau Besar atau Kecil?

Fuhh... panas bener ya ibukota kita. Saya di Gambir, sedang tunggu kereta pulang ke Purwokerto, sehabis mengikuti kegiatan di Bogor selama 5 hari, dalam rangka Penyusunan buku untuk siswa berkebutuhan khusus. Boring juga, waktu menunjukan pukul 13.12 padahal jadwal kereta pukul 16.45. Cap cay deh...

Panggilan video di ponsel ku, dengan latar belakang Mei anak perempuanku, berbunyi. "Liat pah... ikan kita beranak," tanpa kata halo lagi Mei mengarahkan kamera ponselnya ke arah air di kolam rumahku.

Aku beringsut mencari tempat yang agak sepi, malu lah dikatain kampungan video call-an di tengah kerumunan orang orang, yang sepertinya akan lebih berpikir saya itu kampungan daripada memuji karena memanfaatkan teknologi canggih.

Melalui layar ponsel, kulihat titik kecil berwarna kuning, merah, dan silver bergerak lincah. "Itu pah, anak anak nya," Mei dengan semangat menunjukan.

"Mamahnya sehat, Mei?" tanyaku setengah berteriak karena kegaduhan Stasiun Gambir.

"Ya, Pah. Lagi kerja," jawab Mei.

Haduh, yang ditanya induk ikannya, bukan mamahnya Mei.

"Oh... kirain tanya mamah," jawab Mei tanpa mengalihkan posisi ponselnya tetap mengarah ke anak-anak ikan.

Aku memperhatikan lagi sejenak, kuluncurkan pertanyaan "Mei, coba ke kolam yang ada di kamar mandi papah. Papah pengen liat ikan yang di sana."

Layar ponsel ku kabur patah-patah ketika Mei bergerak menuju kamar mandiku.

"Tuh, Pah, keliatan gak?"

Sesaat kemudian, kulihat ikan ikan di kolam kamar mandiku. Bentuknya jauh lebih kecil dibandingkan ikan di kolam luar. Padahal aku ingat benar, belinya sama jenis ikannya, sama waktu belinya, sama penjualnya, dan awalnya sama besarnya. Kasih makan juga sama dengan makanan yang sama, di waktu yang sama. Tidak ada diskriminasi.

"Kok lain ya, Mei? Ini lebih kecil-kecil."

"Iya, ya," jawab Mei tanpa berusaha mencari jawabnya.

Tiba-tiba di kegaduhan stasiun Gambir yang panas, aku seperti menemukan pencerahan. Mereka, ikan-ikan ku yang awalnya bersumber sama, mengalami perbedaan ketika ditempatkan di tempat yang berbeda. Kolam luarku berukuran 2 x 2.5 m, dengan kedalaman 90 cm. Kolam di dalam kamar mandiku cuma berukuran 0.3 x 3 m, dengan kedalaman 10 cm. Rasanya perbedaan ini yang mengakibatkan perbedaan tumbuh kembang ikan ikan ku.

Terus bagaimana kehidupan manusia? Mungkin sama. Kalau kita membatasi pergaulan di "kolam" yang sempit, ya kita gak akan tumbuh besar, segitu-gitunya saja. Tapi kalo kita memperluas "kolam" dengan lebih banyak teman, lebih luas pandangan, dan lebih jauh wawasan, kita bisa berkembang lebih besar lagi.

Haruskah kita pindah "kolam?" Pindah dari kota kecilku Purwokerto menuju ke ibu kota Jakarta agar saya bisa lebih berkembang?
Begini jawabannya menurut Mencius, "Orang yang menurutkan bagian dirinya yang besar akan menjadi orang besar, yang hanya menurutkan bagian dirinya yang kecil akan menjadi orang kecil."
Kota di mana kita tinggal bukanlah halangan agar kita bisa menjadi lebih besar, melainkan bukalah hati kita menjadi lebih besar untuk dapat menerima kebesaran-Nya. //

Kegemilangan Ada Padamu

Kegemilangan Ada Padamu


Sembari menunggu kereta api berangkat menuju ke Semarang, dalam perjalananku memenuhi undangan Matakin Kota Semarang untuk menjadi salah satu narasumber di acara yang diadakan mereka, kunikmati gorengan Lumpia kiriman dari sahabat yang kini tengah berjuang mengembangkan bisnis jualan Lumpia. 

 "Cicipin ya pak, dan mohon masukannya," begitu katanya waktu mengirimkan sampel produksinya.

Sambil mengunyah dan mengeksplorasi rasa yang menggelitik lidahku, citaku melayang jauh ke depan, intuisiku sebagai Konsultan Bisnis menyusun tabir prediksi nasib Lumpia yang kukunyah perlahan ini.

Ingatanku pada pembuat Lumpia ini terkuak menganga. Dia seorang lelaki bertato yang usianya tidak jauh di bawahku. Inilah tipe manusia jenis ketiga, menurut Ajaran Zhong Yong, yang karena pengalaman hidupnya penuh derita membuatnya mencapai bijaksana. Lembar kehidupannya sebelumnya kelam, gelap. 

Aku masih teringat katanya waktu awal berkenalan "Hidupku itu kayak teka teki silang, hanya ada mendatar dan menurun, tidak ada kata naik," bertubi-tubi kesialan mampir dalam kehidupannya, penderitaan dan kesialan kayaknya pernah menjadi sobat karib yang susah dipisahkan.

Perjalanan Rohaninya pun tidak menentu, berbagai keyakinan pernah mengisi lubang iman yang ada di hatinya. Entah apa yang membuatnya menambatkan hati pada iman Khonghucu sampai saat ini. 

"Saya merasa tenang, dan tau bagaimana harus menata hidup melalui ajaran Kongzi," hanya itu yang kuingat ketika bertanya, apa yang membuatnya mengimani Khonghucu. Tidak dapat dipungkiri, dia mengenal Khonghucu memang dari saya, ketika seringkali dia kuminta menjadi supir manakala aku bertugas mengisi kebaktian di beberapa kota. Disitulah awal perjalanan rohaninya bertemu dengan ajaran yang kuno, luhur lagi mulia itu.

Ingatanku terputus ketika kondektur memeriksa tiket. Mulutku mengunyah menghabiskan gigitan terakhir pada ujung Lumpia yang sedikit keras. Rasanya lumayan enak, asin dan manisnya imbang. Kalau rasa ini dijaga, tetap menggunakan standar bahan yang baik, tidak tergoda menggantinya dengan bahan yang lebih murah untuk melipatkan laba, pasti akan banyak konsumen loyal dan menjadi langganan setia.

Bila dia cermat mengelola keuangannya, bila pendapatan bisa menutup biaya, maka banyak sisa yang bisa didapat. Bila bisa membedakan mana kebutuhan dan mana keinginan, maka hidupnya terhindar dari konsumerisme yang pernah menjadi label cap dirinya. 

Pernah dulu aku mencelanya "Mas, HP mu itu lho ada 2, emang buat apa saja?? Gak boros ngasi makan pulsanya? Saya yang punya usaha mapan saja, hanya pake satu HP, kamu makan saja susah, HP dua biji, nomornya ada 4 pula." 

Jawabnya kala itu, sambil bergurau "Aku kere, Pak, tapi wani sombong." Gubrak... 

Bila dia bisa membina diri sesuai ajaran Mengzi bahwa, "Untuk memelihara Hati, tiada yang lebih baik daripada mengurangi keinginan. Kalau orang dapat mengurangi keinginan, meskipun ada kalanya tidak dapat menahannya, niscaya tiada seberapa."

Teruslah berusaha membina diri, Bro. Tetapkan hati untuk senantiasa berjalan menempuh Jalan Suci. Berpeganglah pada Ajaran Besar, bahwa "Sesungguhnya untuk memperoleh Kegemilangan itu hanya tergantung pada usaha orang itu sendiri."

Kuatkan iman, yakin hanya kebajikan Tuhan berkenan. //

Kejahatan dibalik Kebaikan

Kejahatan dibalik Kebaikan

Perubahan selalu memberikan dampak pada dua sisi, sisi baik dan sisi buruk, Yin Yang selalu bergerak menyertai setiap perubahan yang terjadi. Fenomena ini terjadi pula pada dunia maya, dunia yang relatif terbentuk belum lama, tetapi hiruk pikuknya tidak kalah dengan dunia yang kita geluti nyata setiap harinya.

Kehadiran dunia maya memberikan perubahan kebaikan yang signifikan, perubahan sistem komunikasi misalnya, telah membuat bumi menjadi kecil dan tak berjarak, banyak manfaat kita temui karenanya. Setiap cahaya, memunculkan bayangan, kecanggihan teknologi IT pun memunculkan kejahatan baru, mengincar terutama kepada mereka yang gagap dan tertatih tatih mengikuti arus perkembangan zaman.

Anda pengusaha toko Tradisional? 

Suatu hari, datang pelanggan yang banyak bertanya mengenai produk produk dagangan Anda, dia mengaku punya toko sejenis yang komoditi dagangannya sama, dan dia berkata ingin membeli barang-barang di toko Anda, tentunya dengan harga grosir. Anda tidak menaruh curiga, karena toh dia tidak meminta hutang atas barang yang akan dibelinya. 

Aman.

Dia meminta ijin memfoto barang-barang Anda, katanya untuk membandingkan dengan yang dia jual selama ini, Anda masih berpikir, "Aman ah, hanya sekedar foto doank, apa bahayanya?"

Dia meminta Nomor Rekening Bank, dia bilang akan digunakan untuk mentransfer uang, dan menyakinkan bahwa Anda cek dulu bahwa transferan sudah masuk baru barang diserahkan. Aman.
Karena sudah biasa konsumen membayar lewat transfer, dan toh kita pun bisa dengan leluasa mengeceknya menggunakan teknologi kekinian yang sudah disediakan hampir semua bank yang menjadi kepercayaan kita. 

Aman.

Beberapa hari kemudian, si pelanggan datang lagi, dia bawa beberapa bukti transfer di HP nya, semua tertuju ke Rekening bank Anda, dan ketika Anda mengecek lewat sms atau internet banking, benar jumlah beberapa transferan itu sudah masuk ke Rekening Anda. Aman. Maka Anda berikan barang-barang Anda sesuai dengan jumlah transferan yang masuk. Anda membuat nota, melakukan transaksi penjualan dan konsumen pun pulang. 

Aman.

Beberapa hari berselang, HP Anda sering berdering, beberapa orang yang berbeda menanyakan, mengapa pesanannya belum juga sampai, dan menanyakan kapan Anda akan mengirimkan barang tersebut. Anda mulai bingung, apa yang dimaksud oleh mereka? Siapa mereka Anda tidak kenal, dan apa yang mereka bahas pun Anda tidak mengerti.

Ini yang terjadi!

Ingat pembeli sebelumnya yang sudah mentransfer dan sudah membawa barang-barang Anda? Ingat ketika dia memfoto barang-barang Anda? Ingat ketika dia menanyakan dan meminta No Rekening Bank Anda? Sepulang dari toko Anda, dia membuka penawaran online, bisa melalui Facebook atau pun melalui media sosial lain.

Dia pasang foto barang-barang Anda, dia pasang foto toko Anda, bahkan dia pasang foto Anda, dan dia tulis alamat toko Anda dengan jelas, serta dia tulis nomor rekening Anda tanpa menipu. Maka para pembeli online akan mentransfer uang ke Rekening Anda, mereka tergiur karena barang Anda dijual dengan harga yang murah, konsumen percaya karena alamat dan toko Anda terpampang jelas di penjualan online, bahkan ada foto Anda yang sedang menyeringai ramah menarik simpati para pembeli online.

Wah tidak aman sekarang! Karena para pembeli sudah mulai marah, mereka merasa Anda menipu. Mereka melaporkan Anda ke Polisi dengan tuduhan penipuan. Anda dipanggil Polisi, Polisi membuka laman penjualan online dan bertanya ini foto Anda? Anda terpaksa jawab iya. Ini alamat toko Anda? Anda tidak mungkin jawab tidak. Ini rekening Anda? Anda jawab iya. Anda sudah menerima transfer uang-uang ini? Anda jawab iya. Lengkap sudah pengakuan Anda, dan Polisi bilang, Anda segera kirim barang-barang pesanan mereka, atau terpaksa di proses sebagai tersangka atas kasus penipuan.

Apa yang Anda lakukan pada posisi ini?

Ini adalah sepenggal cerita mengenai hitam dan putih dunia IT. //

Home Sweet Home

Home Sweet Home

Home sweet home, Rumahku adalah istanaku, kata-kata ini pasti sangat diresapi artinya bagi mereka yang suka bepergian dalam waktu lama meninggalkan rumah dan keluarganya.

Seenak apapun kasur dan senyaman apapun ruang kamar di hotel berbintang lima, tidak akan seenak dan senyaman kasur di rumah yang sekian lama dengan ikhlas menerima berat beban tubuh yang penat dan butuh istirahat.

Sewangi apapun kamar hotel tidak akan dapat menyaingi bau khas kamar di rumah yang sudah selaras menyerap energi empunya, sehingga menjadi aromaterapi yang segera meninabobokan pemiliknya.

Apalagi kalo bepergian, dan tempat tidur serta kamarnya tidak lebih baik dari yang kita tinggalkan di rumah, tentu butuh perjuangan menahan gejolak hati yang pada akhirnya menjaga mata tetap waspada.

Sampai pada titik ini, rasanya susah dimengerti jalan sunyi para petapa dan para pengikut aliran sufi. Meninggalkan kenyamanan raga yang mereka punya, sengaja menggantikannya dengan nestapa.

Ah, saya ngikut Ajaran Kongzi aja, untuk hidup di Jalan Tengah, Zhong. Tidak melanda, belajar mengatasi derita ketika jauh dari keluarga, dan tidak bermalasan karena nyaman ketika berada di rumah.

SABDA SUCI JILID IX PASAL 14
(3) Nabi bersabda, "Seorang Kuncu diam di manapun, tiada tempat yang buruk baginya." //

Kesadaran Dalam Keheningan

Kesadaran Dalam Keheningan

Temanku masuk rumah sakit, kondisinya tidak sadar karena serangan stroke yang mengakibatkan pecahnya pembuluh darah otak. Kudapat berita ini via whatsapp. Mengingat hubungan baik pertemanan selama ini, segera ku kunjungi Rumah Sakit tempat dia dirawat. Dalam benakku tergambar sudah, kondisinya yang tidak sadarkan diri, tergolek lemas tanpa daya.

Kumasuki ruang IGD yang pasti langsung menciutkan nyali preman segarang apapun. Mataku disajikan pemandangan di mana manusia berkuasa seperti apapun dalam hidupnya, tidak bisa lagi jumawa di ruang ini. Tubuh tergolek tidak berdaya, hidung dengan alat bantu pernafasan, selang tersogok di mulutnya untuk memaksa memasukan makanan, banyak kabel menempel di tubuh dan tersambung dengan sekotak alat elektronik yang mengeluarkan bunyi beep...beep...beep, kadang teratur kadang tidak. Dan ketika nada beep menjadi panjang tanpa jeda beeeeeeeeeeep..... Berarti tamat sudah cerita perjalanan hidup seorang manusia di dunia dan saatnya kembali kepada Sang Maha Mula.

Tapi temanku kondisinya berbeda. Kudapati istri dan dan anaknya sedang sibuk memegangi tubuhnya. Selang infus tertancap di pergelangan tangan kanannya, tangan kirinya terlihat terikat di sisi ranjang. Kakinya bolak balik mengangkat seperti hendak bangun. Tenaganya begitu kuat sampai anak dan istrinya kewalahan menyuruhnya tenang. Matanya terbuka nanar, kosong tanpa sorot cahaya. Dia tak merespon ketika kupanggil namanya, tetap sibuk meronta.

"Lho katanya gak sadar?" tanyaku pada istrinya.

"Ya begini keadaanya sejak masuk rumah sakit," jelas istrinya sambil tetap berupaya menenangkan suaminya. "Hasil CT Scan ada gumpalan darah yang menyumbat aliran darah ke otaknya. Itu yang membuat tidak sadar," lanjut sang istri menjelaskan.

Oh, jadi selama ini salah bila kita mendefinisikan kondisi tidak sadar bagi si sakit itu hanya sebatas pingsan, koma, atau kondisi lain yang merujuk kepada keadaan pasif tanpa daya. Nyatanya kondisi temanku yang aktif meronta pun dikategorikan tidak sadar. Ya..ya..ya, kukembangkan pikiranku dari apa yang kusaksikan hari ini, merefleksikannya kepada kehidupan sehari hari.

Dalam kehidupan, di tengah-tengah keaktifan kita bergerak, justru seringkali manusia kehilangan kesadaran. Ingat, kehilangan kesadaran bukan pingsan ya, tetapi kehilangan kesadaran di sini, diartikan sebagai hilangnya kesadaran bahwa hidup kita terdiri atas dua elemen yang saling berkaitan erat, antara kehidupan jasmani dan kehidupan rohani.

Marak dan hiruk pikuknya kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup jasmaninya, acapkali menghilangkan kesadarannya bahwa hidup rohaninya pun perlu dipenuhi kebutuhannya. Kebanyakan orang menumpuk harta dengan membangun rumah yang mewah, membeli mobil yang mahal, rekening tabungan dengan banyak nol di belakangnya, pakaian yang branded. Tidak sadar, sampai lupa bahwa untuk menghias diri hanya dapat dilakukan dengan melakukan perbuatan-perbuatan bajik kepada sesama.

Maka lihatlah, ternyata banyak orang orang di sekeliling kita yang aktif bergerak, meronta, berupaya, tapi tatapan mata (batin) nya nanar dan kosong, persis kondisinya seperti yang dialami teman saya yang terserang stroke itu. Sebaliknya, para bijak yang sadar bahwa turut aktif dalam hiruk pikuknya kehidupan belum menjamin pemenuhan kehidupan Rohaninya, maka mereka justru duduk berdiam, pasif, hanyut dalam keheningan yang justru meningkatkan kesadarannya.

Bedanya hanya yang ini tidak pakai aksesoris selang di mulut dan jarum infus di lengan, dan juga tidak ada kotak yang bunyinya beep..beep..beep, bunyi horor yang bikin susah tidur. Mereka diam, pasif larut di keheningan yang tercipta dalam banyak sebutan. Umumnya menyebut meditasi, samadhi, kontemplasi, dan yang kita kenal juga dengan nama jing zhuo.

Mereka dalam kesunyian, mencari kesadaran mengenai dari mana kita berasal, apa yang harus kita emban dan jalani dalam hidup ini, serta ke mana pada akhirnya kita harus menuju tatkala bunyi beeeppp sudah panjang dan datar.

Apapun metodenya, semua memiliki kesamaan, menciptakan keheningan di tengah keramaian, untuk mendapatkan kesadaran.

Jadi pertanyaannya, kamu yang aktif bergerak, dalam kondisi sadarkah?

Kamu... Iya, kamu... //

Blog Kami

Hubungi Kami

Perlu bantuan mengembangkan bisnis Anda?

Banyak perusahaan masih menjalankan bisnisnya hanya berdasarkan naluri atau kemampuan yang diwarisi secara turun-temurun. Mulailah bergerak maju untuk mengembangkan bisnis Anda!

Telepon:

+62 812.2635.0879

Whatsapp:

+62 812.2635.0879

Email:

junziconsulting@gmail.com

Alamat:

Perum Griya Karang Indah Blok B5, Purwokerto

Untuk keperluan Konsultasi Online atau Tatap muka, bisa diagendakan sesuai perjanjian sebelumnya.